Allah tidak pernah terlambat memberikan hidayah. Allah Mahatahu, kapan waktu yang paling tepat untuk menurunkannya. Sebagaimana Allah juga Mahatahu, siapa yang layak didahulukan atau diakhirkan hidayahnya, atau bahkan yang tidak layak memperolah secercahpun hidayah dari-Nya.
Jikalau ada yang diperlambat datangnya hidayah, bukan karena Dia
kikir atau pelit, sungguh Dia Maha Penyayang lagi Maha Pemurah.
Keterlambatan, atau bahkan terhalangya seseorang dari hidayah itu
disebabkan oleh ulah dan sikap manusia dalam menerima dan menyambutnya.
Atau dominasi hawa nafsu yang menguasai diri, sehingga menampik
datangnya hidayah. Baik hidayah Islam secara global, ataupun hidayah tafshil (yang rinci), berupa menjalankan berbagai perintah, dan menjauhi segala hal yang dilarang oleh Allah.
Adat, Hambatan Paling Berat
Saat cahaya Islam pertama kali menyapa kaum Arab Quraisy, tak serta
merta disambut dengan gegap gempita. Bahkan lebih banyak penentang
katimbang pendukungnya. Alasan paling populer dari para penentang
adalah, karena Islam tak sejalan dengan adat dan agama nenek moyang
mereka.
Taklid kepada leluhur lebih mereka utamakan dari ajakan Allah dan
Rasul-Nya, meskipun hati kecil mereka meyakininya. Tak ada penghalang
yang lebih berat bagi Abu Abu Thalib, paman Nabi SAW, selain beban untuk
berpegang kepada agama leluhurnya. Adalah Abu Jahal yang memprovokasi
Abu Thalib di ujung hayatnya. Dia membujuk, “Apakah engkau hendak
meninggalkan agama Abdul Muthallib?” Hingga akhirnya Abu Thalib mati
dalam keadaan musyrik. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi,
sebelum meninggal, dia mengulang-ulang sya’irnya,
Aku tahu bahwa agama Muhammad terbaik bagi manusia
Kalau saja bukan karena agama nenak moyang yang dicela
Niscaya engkau dapatkan aku menerima dengan sukarela
Sikap ini mewakili sekian banyak orang yang menampik hidayah, juga
enggan untuk tunduk terhadap titah Allah dan Rasul-Nya. Karakter para
penentang ini dikisahkan dalam firman-Nya,
“Apabila dikatakan kepada mereka:”Marilah mengikuti apa yang
diturunkan Allah dan mengikuti Rasul”. Mereka menjawab:”Cukuplah untuk
kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya”. (QS. Al Maidah:104)
Ketika mereka diajak menjalankan agama Allah dan syariatnya,
menjalankan kewajiban dan apa yang diharamkannya, mereka menjawab,
”cukup bagi kami mengikuti cara dan jalan yang telah ditempuh oleh bapak
dan kakek kami.” Demikian dijelaskan tafsirnya oleh Ibnu Katsier
rahimahullah.
Seakan al-Qur’an masih hangat turun ke bumi. Betapa alasan ini sangat
populer kita dapati. Tatkala didatangkan dalil dari al-Qur’an maupun
as-Sunnah, baik tentang larangan yang tak boleh dijamah, atau perintah
yang mesti dilakukan, seringkali kandas ketika dalil itu tak sejalan
dengan kebiasaan yang telah berjalan. ”Jangan merubah adat…! Ini sudah
tradisi para leluhur…! Biasanya memang begini…!” dan ungkapan lain yang
mengindikasikan ketidakrelaan mereka jika adat diganti dengan syariat.
Ungkapan seperti ini tak jarang muncul dari lisan orang yang telah
menyatakan dirinya Islam, yang telah mengikrarkan bahwa ia rela Allah
sebagai Rabbnya, Muhammad sebagai Nabi dan Rasul, dan Islam sebagai
agamanya. Tapi begitu syariat tidak sejalan dengan adat, adat lebih
mereka utamakan.
Sejenak kita akan tahu bahwa, masih banyak warisan adat leluhur yang
ternyata bertentangan dengan syariat, bahkan jika dirunut, tak hanya
warisan nenek moyang masyarakat Indonesia, tapi warisan penyembah
berhala di era jahiliyah Arab.
Kesesatan yang Dilestarikan
Atas nama melanggengkan nilai-nilai luhur tradisi nenek moyang,
budaya sesaji masih tetap lestari. Dari yang hanya sekedar
mempersembahkan menu ’wajib’ berupa hewan sembelihan, maupun yang
berupai kemenyan, buah-buahan dan ’tetek bengek’ lain sebagai menu
tambahan. Semua itu ditujukan kepada sesuatu yang diagungkan, apakah jin
penunggu, arwah leluhur atau dewa yang diyakini keberadaannya.
Tradisi ini mengiringi momen-momen penting dalam kehidupan manusia,
seperti peringatan kelahiran, kematian, upacara pernikahan, peresmian
gedung atau jembatan, peringatan hari besar, juga untuk tujuan
insidental seperti mencegah terjadinya marabahaya. Tak ketinggalan pula
masyarakat kita yang mengaku dirinya muslim. Mereka turut
membudayakannya dengan sedikit modivikasi dan dikemas dengan
simbol-simbol Islam.
Sulit untuk mendapatkan jawaban yang memuaskan, sejak kapan tradisi
sesaji bermula di negeri ini. Paling-paling kita harus puas dengan
jawaban, ”itu sudah menjadi adat nenek moyang sejak dahulu.”
Jika ditelisik, sesaji tak hanya menjadi tradisi Hindu atau penganut
animisme maupun dinamisme di Indonesia saja. Tapi juga merupakan adat
jahiliyah Arab, yang kemudian disapu bersih dengan hadirnya Islam. Ini
terlihat dari banyaknya ayat dan hadits yang melarang sembelihan untuk
selain Allah, juga ancaman bagi yang melakukannya.
Dahulu, orang biasa Arab biasa menyembelih hewan di sisi kuburan, lalu Islam melarangnya. Sebagaimana hadits Nabi SAW,
لاَ عَقْرَ فِي الإِسْلاَمِ قَالَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ: كَانُوا يَعْقِرُونَ عِنْدَ الْقَبْرِ بَقَرَةً أَوْ شَاةً
“Tidak boleh ada ‘aqr (menyembelih di kuburan) dalam Islam.” (HR. Abu Dawud)
Abdurrazzaq yang meriwayatkan hadits tersebut berkata; dahulu mereka menyembelih sapi atau kambing di kuburan.
Dengan alasan mengikuti adat, tradisi itupun masih dilestarikan
dengan istilah bedah bumi (‘meminta ijin’ untuk menggali liang kuburan),
atau sebagai penghormatan kepada orang yang telah mati.
Padahal secara tegas Nabi SAW bersabda,
وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللَّه
“Dan Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah.” (HR. Muslim)
Jimat untuk kesaktian dan penangkal bahaya, juga menjadi warisan
orang musyrik terdahulu. Suatu kali, sahabat Hudzaifah bin Yaman
menengok orang sakit. Beliau melihat di lengan si sakit ada gelang
(untuk jimat). Maka beliau langsung melepasnya sembari membaca firman
Allah,
“Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan
dalam keadaan mempersekutukan Allah ( dengan sembahan-sembahan lain
).”(QS. Yusuf:106)
Bukankah praktik ini sering kita jumpai dalam bentuk rajah di pintu
rumah, di warung, kendaraan, atau jimat lain berupa gelang, kalung atau
cincin yang dianggap memiliki khasiat bisa mendatangkan manfaat dan
mencegah madharat. Inilah keyakinan syirik warisan jahiliyah, di mana
Islam datang untuk membersihkan dan menghilangkannya.
Belum lagi berbagai keyakinan khurafat yang masih subur dan diwariskan turun temurun.
Meninggalkan Adat Demi Syariat
Ajaran tauhid mengharuskan penganutnya bersih dari syirik, meski itu
berupa adat yang mendarah daging dan mengakar kuat. Wajar, jika dakwah
Nabi SAW oleh orang Arab diidentikkan dengan dakwah untuk meninggalkan
adat nenek moyang.
Heraklius, Kaisar Romawi yang beragama Nasrani pernah bertanya kepada
Abu Sufyan saat masih musyrik, ”Apa yang Muhammad (SAW) serukan atas
kalian?” Abu Sufyan menjawab,
يَقُولُ اعْبُدُوا اللَّهَ وَحْدَهُ ، وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ، وَاتْرُكُوا مَا يَقُولُ آبَاؤُكُمْ ، وَيَأْمُرُنَا بِالصَّلاَةِ وَالصِّدْقِ وَالْعَفَافِ وَالصِّلَة
“Dia (Muhammad SAW) mengatakan, “Hendaklah kalian hanya beribadah
kepada Allah saja, tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu, dan hendaknya
kalian meninggalkan pendapat nenek moyang kalian, dia juga menyuruh kami
shalat, berlaku jujur, menjaga kehormatan dan menjalin persaudaraan.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Menyelisihi kebiasaann nenek moyang bukanlah cela. Melanggar adat tak
juga membuat kita kualat. Bahkan orang yang kualat dan mendapat
ganjaran berupa siksa yang berat adalah mereka yang mempelopori adat
yang sesat, juga para pengikutnya di dunia.
Di dalam hadits Bukhari, Nabi juga bersabda, ”Aku mengetahui,
siapakah orang pertama yang merubah ajaran (tauhid) Ibrahim alaihis
salam.” Para sahabat bertanya, ”Siapakah dia wahai Rasulullah?” Beliau
menjawab, ”Dia adalah Amru bin Luhay, saudara Bani Ka’ab. Aku melihatnya
dia menyeret usus-ususnya di neraka, hingga penduduk neraka yang lain
terganggu oleh bau busuknya.” (HR. Bukhari)
Begitulah ganjaran bagi orang yang membawa berhala ke negeri Arab,
yang tadinya telah dibersihkan oleh kapak dan dakwah tauhid Ibrahim
alaihis salam. Apakah kita tetap akan membanggakan para leluhur meski
memiliki kemiripan dengan Amru bin Luhay?
Teladanilah sikap yang diambil oleh seorang tabi’in, Syuraih al-Qadhi
ketika beliau ditanya, ”Dari kaum manakah Anda?” Beliau menjawab, ”Dari
kaum yang Allah telah karuniakan Islam atasnya. Sedangkan orangtuaku
dari Kindah.” Beliau lebih suka menisbahkan dirinya kepada Islam,
katimbang membanggakan sukunya.
Karena beliau tahu, suku atau keturunan siapa tak akan membuatnya
mulia atau hina, tidak pula menolongnya kelak di akhirat. Nenek moyang
tak mampu menyediakan surga baginya, bahkan, jika mereka sesat, mereka
sendiri dalam keadaan hina. Simaklah kabar Nabi SAW tentang mereka,
لَيَدَعَنَّ رِجَالٌ فَخْرَهُمْ بِأَقْوَامٍ إِنَّمَا هُمْ فَحْمٌ مِنْ فَحْمِ جَهَنَّمَ أَوْ لَيَكُونُنَّ أَهْوَنَ عَلَى اللَّهِ مِنْ الْجِعْلاَنِ الَّتِي تَدْفَعُ بِأَنْفِهَا النَّتِنَ
Maka, hendaklah orang-orang meninggalkan kebanggaan mereka terhadap
kaumnya; sebab mereka hanya (akan) menjadi arang jahannam, atau di sisi
Allah mereka akan menjadi lebih hina dari ji’lan (kumbang kotoran) yang
mendorong kotoran dengan hidungnya.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Memang, tak semua adat itu sesat, sehingga wajib kita mengukurnya
dengan barometer syariat. Jika memang bertentangan, jangan ragu
meningalkannya, demi merealisasikan ajaran Islam yang hanif. (Abu Umar
Abdillah)
http://www.arrisalah.net/2010/09/30/hidayah-lambat-karena-adat/