Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Tidaklah sama antara mukmin
yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai ‘uzur dengan
orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan
jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan
jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing
mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan
orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang
besar.” (An-Nisaa`: 95).
Dari penjelasan ayat di atas, di mata Allah, Mujahidin adalah
kelompok elit yang menduduki kasta tertinggi kehidupan dunia. Betapa
tidak, mereka adalah para pelaku aktivitas jihad yang notabene adalah
puncak ajaran Islam.
Rasulullah bersabda, “Inti (pokok) segala perkara adalah Islam,
tiangnya (penopangnya) adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad di
jalan Allah.” (HR. At-Tirmidzi).
Mereka adalah bintang dari setiap syair kepahlawanan (epik). Mereka
para pemimpin perubahan menuju jalan kemuliaan, supremasi, stabilitas,
dan superioritas. Hal ini bukanlah ilusi ataupun fantasi belaka. Hal
tersebut merupakan sebuah kenyataan yang diafirmasi oleh ajaran agama
dan realita.
Saking superioritasnya ‘status’ Mujahidin ini, tak heran apabila
banyak pihak yang menaruh dengki kepada mereka. Sel-sel penjara di
segenap rezim thaghut di dunia ini disesaki oleh keberadaan para
mujahid. Tangan dan kaki mereka terikat belenggu dan borgol.
Jiwa para thaghut dunia ini dipenuhi oleh rasa permusuhan dan
kebencian terhadap mereka. Para pemimpin kekafiran terpaksa melupakan
permusuhan mereka, guna bersatu-padu melancarkan konspirasi jahat
memberangus Mujahidin.
Melalui darah, anggota tubuh, jihad, pengorbanan, kerja keras,
keringat, penderitaan, dan kesabaran, para mujahid bersusah-payah
mendirikan‘jembatan kokoh’, menyiapkan ‘jalur kemenangan’, dan membangun
‘lintasan kemuliaan’, agar bisa dilalui generasi muslim berikutnya.
Sehingga jembatan dan lintasan tersebut dapat dilewati oleh setiap
pengembara dan dilalui oleh setiap orang yang tersesat jalan.
Lembaran-lembaran sejarah niscaya akan kosong melompong jika tidak
digoreskan oleh tinta darah syuhada dan keringat para mujahid.
Lembaran-lembaran sejarah akan terasa hampa jika tidak diwarnai keringat
mujahidin dan pengorbanan para pahlawan pemberani. Lembaran-lembaran
tersebut juga akan terasa tidak bergairah jika tidak disemarakkan oleh
pertempuran-pertempuran sengit menyala-nyala bak bintang-bintang
bersinar terang yang menerangi kegelapan di daratan dan lautan.
Tidakkah kita merasakan bahwa segenap pengorbanan, pemandangan epik,
dan keberanian para mujahid adalah bekal dan persiapan terbaik untuk
kita demi menyeberangi jalan terjal nan berat dalam kehidupan ini?
Tidakkah kita bangga menyaksikan peristiwa-peristiwa epik yang mereka
lakoni? Tidakkah kita berbangga ketika membicarakan kisah pertempuran
Badar, Qadisiyah, Yarmuk, Khandaq, dan lain sebagainya? Tidakkah kita
bangga saat menceritakan hikayat tentang Khalid bin Al-Walid, ‘Amr bin
Al-‘Ash, Shalahuddin Al-Ayyubi, Saifuddin Quthuz, Yusuf bin Tasyfin,
Umar Mukhtar, Syamil Basayev, Abu Mush’ab Az-Zarqawi, Hakimullah Mehsud,
dan sosok-sosok pemberani lainnya?
Lalu mengapa para mujahid hari ini harus menerima semua celaan dan
hujatan? Mengapa masih ada pihak-pihak yang meragukan kepahlawanan
danpengorbanan mereka? Kenapa jihad dan usaha keras mereka menjadi
sasaran penistaan? Kenapa jihad yang mereka lakukan demi mengorbitkan
kebenaran mendapatkan balasan sikap apriori?
Mengapa kita masih berselisih, mengikuti hawa nafsu, dan meyakini
opini-opini yang nyatanya adalah dusta dan palsu belaka? Lalu mengapa
masih ada kelompok-kelompok yang berani mengeluarkan fatwa-fatwa
serampangan tentang Mujahidin, dan tergesa-gesa memberi keputusan hukum
gegabah; tanpa dilandasi ilmu, pengetahuan, dan wawasan realita mumpuni?
Sejatinya, siapa saja bisa dengan mudahnya menguasai ‘seni
mengkritik’. Siapa saja bisa dengan gampangnya memberi komentar dan
stigma buruk. Namun tidak banyak orang yang mampu menguasai ‘seni
beramal’, terjun ke dalam gerakan perubahan, dan serius berpikir.
Oleh sebab itu, orang yang tidak memahami karakter agama Islam, tidak
pernah ditempa oleh tragedi, tidak pernah melakoni eksperimen
perubahan, maka dia akan mengira bahwa melakukan amal perubahan dan
terjun ke dalam harakah adalah sebuah tindakan gegabah dan tergesa-gesa.
Serta mencap tanzhim (organisasi) sebagai sesuatu yang bid’ah dan
sesat.
Orang yang tidak punya pikiran dan inisiatif untuk berusaha dan
berjihad, serta tidak memiliki kemampuan untuk menanggung penderitaan
dan beban, niscaya dia akan memandang setiap upaya penegakan kehidupan
Islami yang nyata adalah usaha sia-sia dan konyol.
Dia hanya mementingkan kehidupan dan kesenangan pribadinya. Dia hanya
hidup untuk dirinya sendiri. Prinsip yang dianutnya: ‘kehidupan hanya
untuk mementingkan diriku, istriku, dan anak-anakku’.
Perhatikanlah wahai para komentator dan kritikus, kelak kalian akan
menyadari bahwa maslahat terbesar dalam kehidupan ini adalah bagaimana
merealisasikan penghambaan kepada Allah melalui iman yang benar,
berhijrah, dan jihad fi sabilillah. Penghambaan yang juga berkonsekuensi
menunaikan kewajiban menentang thaghut dengan menyiapkan sebaik-baiknya
perlawanan dan bersikap anti-loyalitas kepadanya.
Sebagaimana juga keharusan untuk merealisasikan fikih harakah yang
aktual dan kerja kolektif terorganisasi rapih yang dapat menopang
kebaikan, ketakwaan, dan membantu penegakan Khilafah. Selain itu, yang
menjadi maslahat terbesar adalah bagaimana membayar ‘ongkos’ kemuliaan
dan kekuasaan absolut melalui kedermawanan dan kebaikan jiwa, dengan
mengorbankan nyawa dan segala sesuatu yang berharga.
Inilah jihad fi sabilillah yang menjadi jalan terdekat –bahkan
menjadi jalan satu-satunya—untuk menancapkan supremasi hukum Allah,
meraih kejayaan, serta menghapus kehinaan dan kenistaan dari tubuh umat.
Meskipun, bagi orang-orang berpandangan kerdil dan pengecut, mereka
niscaya menganggap bahwa persoalan ini akan berbeda 180 derajat dari
idealisme.
Benarlah bahwa perjuangan takkan seindah yang dibayangkan. Ini
mengingat, berbagai penderitaan, cobaan, malapetaka, pertikaian, dan
pembunuhan akan selalu mengintai, serta tak terhindarkan bagi orang
beriman. Namun bisa berarti juga bahwa derita perjuangan tidaklah
seburuk yang dibayangkan. Hanya saja, ujian dan cobaan dalam perjuangan
adalah sebuah keniscayaan.
Allah berfirman, “Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu
agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara
kamu, dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) hal ihwalmu.” (Muhammad:
31)
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan dibiarkan, sedang Allah belum
mengetahui (dalam kenyataan) orang-orang yang berjihad di antara kamu
dan tidak mengambil menjadi teman yang setia selain Allah, RasulNya dan
orang-orang yang beriman. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (At-Taubah: 16)
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan:
“Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?” (Al-‘Ankabuut:
2)
Kita akan menyadari bahwa agama Islam tidak akan pernah bisa tegak
hanyadengan sajak, serta ungkapan-ungkapan berat dan mendalam.
Sebagaimana Islam juga tidak akan dapat berdiri hanya dengan berkutat
pada persoalan-persoalan parsial semata dan memarjinalkan
persoalan-persoalan universal. Juga bukan dengan beragam dalih, jalan,
dan trayek yang disukai para penguasa thaghut.
Selain iman dan hijrah, agama Islam ini tentu saja tegak dengan jihad
fi sabilillah. Allah berfirman, ““orang-orang yang beriman dan
berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda dan diri
mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah
orang-orang yang mendapat kemenangan. ” (At Taubah : 20)
Dari ayat tersebut dia atas jelaslah bahwa dengan Iman, hijrah dan
jihad Islam akan tegak dan mereka mendapat kemenangan dan kebahagiaan
baik di dunia maupun di akhirat.
Demikian juga dalam perjuangan Rasulullah dan generasi terbaik kaum Muslimin, keberhasilan itu direngkuh melalui tiga fase;
(1) pembinaan keimanan yang dilakukan Rasul selama di Makkah,
(2) Hijrah
menuju Madinah untuk membangun lingkungan yang steril dari kesyirikan
dan kehidupan Jahiliyah, sehingga dapat membangun semangat jihad
membaja,
(3) jihad fi sabilillah yang merefleksikan kekuatan dahsyat yang menggentarkan musuh-musuh Allah dan Rasul-Nya.
Dan pastinya, untuk melalui tiga fase tersebut, dibutuhkan
pribadi-pribadi Muslim yang tangguh. Syaikh Abu Mush’ab Az-Zarqawi
mengingatkan dalam risalah Washaya li Al-Mujahidin, “Sesungguhnya agama
ini tidak akan tegak kecuali di atas pundak para perwira yang memiliki
tekad baja. Ia tidak akan pernah tegak di atas pundak orang-orang yang
biasa hidup ringan dan bermewah-mewah. Tidak, sungguh Islam tidak akan
tegak di atas pundak orang-orang seperti ini. Agama yang besar tidak
akan tegak kecuali di atas pundak orang-orang besar pula. Tanggung jawab
besar yang tidak sanggup dipikul langit dan bumi, tidak mungkin diemban
oleh selain orang yang pantas mengembannya.”
Dengan demikian, kita pun nanti berharap kemenangan akan muncul
sebagaimana Rasulullah dahulu tiba di Makkah, dan berhasil menaklukkan
penghalang-penghalang dakwah.
Berhala Latta, Uzza, dan Manat sebagai simbol kejayaan pemerintahan
kafir dapat diluluh-lantakkan, sehingga tidak ada lagi manusia yang
mengabdikan dirikepada undang-undang buatan manusia. Sehingga bersatulah
Makkah dan Madinah menjadi Daulah Islam yang besar dan berwibawa, serta
diakui dan disegani. Semoga!
oleh : Ustadz Ganna Pryadha, Alumnus Universitas Al Azhar, Mesir
http://shoutussalam.org/2014/01/kemenangan-islam-berada-di-pundak-mujahidin/