Click Me! AL-QUR'AN TERJEMAH ONLINE

Jumat, 03 Juli 2015

Urgensi mujahidin

Print PDF

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai ‘uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar.” (An-Nisaa`: 95).

Dari penjelasan ayat di atas, di mata Allah, Mujahidin adalah kelompok elit yang menduduki kasta tertinggi kehidupan dunia. Betapa tidak, mereka adalah para pelaku aktivitas jihad yang notabene adalah puncak ajaran Islam.


Rasulullah bersabda, “Inti (pokok) segala perkara adalah Islam, tiangnya (penopangnya) adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad di jalan Allah.” (HR. At-Tirmidzi).

Mereka adalah bintang dari setiap syair kepahlawanan (epik). Mereka para pemimpin perubahan menuju jalan kemuliaan, supremasi, stabilitas, dan superioritas. Hal ini bukanlah ilusi ataupun fantasi belaka. Hal tersebut merupakan sebuah kenyataan yang diafirmasi oleh ajaran agama dan realita.

Saking superioritasnya ‘status’ Mujahidin ini, tak heran apabila banyak pihak yang menaruh dengki kepada mereka. Sel-sel penjara di segenap rezim thaghut di dunia ini disesaki oleh keberadaan para mujahid. Tangan dan kaki mereka terikat belenggu dan borgol.

Jiwa para thaghut dunia ini dipenuhi oleh rasa permusuhan dan kebencian terhadap mereka. Para pemimpin kekafiran terpaksa melupakan permusuhan mereka, guna bersatu-padu melancarkan konspirasi jahat memberangus Mujahidin.

Melalui darah, anggota tubuh, jihad, pengorbanan, kerja keras, keringat, penderitaan, dan kesabaran, para mujahid bersusah-payah mendirikan‘jembatan kokoh’, menyiapkan ‘jalur kemenangan’, dan membangun ‘lintasan kemuliaan’, agar bisa dilalui generasi muslim berikutnya. Sehingga jembatan dan lintasan tersebut dapat dilewati oleh setiap pengembara dan dilalui oleh setiap orang yang tersesat jalan.

Lembaran-lembaran sejarah niscaya akan kosong melompong jika tidak digoreskan oleh tinta darah syuhada dan keringat para mujahid. Lembaran-lembaran sejarah akan terasa hampa jika tidak diwarnai keringat mujahidin dan pengorbanan para pahlawan pemberani. Lembaran-lembaran tersebut juga akan terasa tidak bergairah jika tidak disemarakkan oleh pertempuran-pertempuran sengit menyala-nyala bak bintang-bintang bersinar terang yang menerangi kegelapan di daratan dan lautan.

Tidakkah kita merasakan bahwa segenap pengorbanan, pemandangan epik, dan keberanian para mujahid adalah bekal dan persiapan terbaik untuk kita demi menyeberangi jalan terjal nan berat dalam kehidupan ini? Tidakkah kita bangga menyaksikan peristiwa-peristiwa epik yang mereka lakoni? Tidakkah kita berbangga ketika membicarakan kisah pertempuran Badar, Qadisiyah, Yarmuk, Khandaq, dan lain sebagainya? Tidakkah kita bangga saat menceritakan hikayat tentang Khalid bin Al-Walid, ‘Amr bin Al-‘Ash, Shalahuddin Al-Ayyubi, Saifuddin Quthuz, Yusuf bin Tasyfin, Umar Mukhtar, Syamil Basayev, Abu Mush’ab Az-Zarqawi, Hakimullah Mehsud, dan sosok-sosok pemberani lainnya?

Lalu mengapa para mujahid hari ini harus menerima semua celaan dan hujatan? Mengapa masih ada pihak-pihak yang meragukan kepahlawanan danpengorbanan mereka? Kenapa jihad dan usaha keras mereka menjadi sasaran penistaan? Kenapa jihad yang mereka lakukan demi mengorbitkan kebenaran mendapatkan balasan sikap apriori?

Mengapa kita masih berselisih, mengikuti hawa nafsu, dan meyakini opini-opini yang nyatanya adalah dusta dan palsu belaka? Lalu mengapa masih ada kelompok-kelompok yang berani mengeluarkan fatwa-fatwa serampangan tentang Mujahidin, dan tergesa-gesa memberi keputusan hukum gegabah; tanpa dilandasi ilmu, pengetahuan, dan wawasan realita mumpuni?

Sejatinya, siapa saja bisa dengan mudahnya menguasai ‘seni mengkritik’. Siapa saja bisa dengan gampangnya memberi komentar dan stigma buruk. Namun tidak banyak orang yang mampu menguasai ‘seni beramal’, terjun ke dalam gerakan perubahan, dan serius berpikir.

Oleh sebab itu, orang yang tidak memahami karakter agama Islam, tidak pernah ditempa oleh tragedi, tidak pernah melakoni eksperimen perubahan, maka dia akan mengira bahwa melakukan amal perubahan dan terjun ke dalam harakah adalah sebuah tindakan gegabah dan tergesa-gesa. Serta mencap tanzhim (organisasi) sebagai sesuatu yang bid’ah dan sesat.

Orang yang tidak punya pikiran dan inisiatif untuk berusaha dan berjihad, serta tidak memiliki kemampuan untuk menanggung penderitaan dan beban, niscaya dia akan memandang setiap upaya penegakan kehidupan Islami yang nyata adalah usaha sia-sia dan konyol.

Dia hanya mementingkan kehidupan dan kesenangan pribadinya. Dia hanya hidup untuk dirinya sendiri. Prinsip yang dianutnya: ‘kehidupan hanya untuk mementingkan diriku, istriku, dan anak-anakku’.
Perhatikanlah wahai para komentator dan kritikus, kelak kalian akan menyadari bahwa maslahat terbesar dalam kehidupan ini adalah bagaimana merealisasikan penghambaan kepada Allah melalui iman yang benar, berhijrah, dan jihad fi sabilillah. Penghambaan yang juga berkonsekuensi menunaikan kewajiban menentang thaghut dengan menyiapkan sebaik-baiknya perlawanan dan bersikap anti-loyalitas kepadanya.

Sebagaimana juga keharusan untuk merealisasikan fikih harakah yang aktual dan kerja kolektif terorganisasi rapih yang dapat menopang kebaikan, ketakwaan, dan membantu penegakan Khilafah. Selain itu, yang menjadi maslahat terbesar adalah bagaimana membayar ‘ongkos’ kemuliaan dan kekuasaan absolut melalui kedermawanan dan kebaikan jiwa, dengan mengorbankan nyawa dan segala sesuatu yang berharga.

Inilah jihad fi sabilillah yang menjadi jalan terdekat –bahkan menjadi jalan satu-satunya—untuk menancapkan supremasi hukum Allah, meraih kejayaan, serta menghapus kehinaan dan kenistaan dari tubuh umat. Meskipun, bagi orang-orang berpandangan kerdil dan pengecut, mereka niscaya menganggap bahwa persoalan ini akan berbeda 180 derajat dari idealisme.

Benarlah bahwa perjuangan takkan seindah yang dibayangkan. Ini mengingat, berbagai penderitaan, cobaan, malapetaka, pertikaian, dan pembunuhan akan selalu mengintai, serta tak terhindarkan bagi orang beriman. Namun bisa berarti juga bahwa derita perjuangan tidaklah seburuk yang dibayangkan. Hanya saja, ujian dan cobaan dalam perjuangan adalah sebuah keniscayaan.

Allah berfirman, “Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu, dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) hal ihwalmu.” (Muhammad: 31)

“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan dibiarkan, sedang Allah belum mengetahui (dalam kenyataan) orang-orang yang berjihad di antara kamu dan tidak mengambil menjadi teman yang setia selain Allah, RasulNya dan orang-orang yang beriman. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (At-Taubah: 16)

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?” (Al-‘Ankabuut: 2)

Kita akan menyadari bahwa agama Islam tidak akan pernah bisa tegak hanyadengan sajak, serta ungkapan-ungkapan berat dan mendalam. Sebagaimana Islam juga tidak akan dapat berdiri hanya dengan berkutat pada persoalan-persoalan parsial semata dan memarjinalkan persoalan-persoalan universal. Juga bukan dengan beragam dalih, jalan, dan trayek yang disukai para penguasa thaghut.

Selain iman dan hijrah, agama Islam ini tentu saja tegak dengan jihad fi sabilillah. Allah berfirman, ““orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan. ” (At Taubah : 20)

Dari ayat tersebut dia atas jelaslah bahwa dengan Iman, hijrah dan jihad Islam akan tegak dan mereka mendapat kemenangan dan kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat.

Demikian juga dalam perjuangan Rasulullah dan generasi terbaik kaum Muslimin, keberhasilan itu direngkuh melalui tiga fase;  
(1) pembinaan keimanan yang dilakukan Rasul selama di Makkah,  
(2) Hijrah menuju Madinah untuk membangun lingkungan yang steril dari kesyirikan dan kehidupan Jahiliyah, sehingga dapat membangun semangat jihad membaja, 
(3) jihad fi sabilillah yang merefleksikan kekuatan dahsyat yang menggentarkan musuh-musuh Allah dan Rasul-Nya.

Dan pastinya, untuk melalui tiga fase tersebut, dibutuhkan pribadi-pribadi Muslim yang tangguh. Syaikh Abu Mush’ab Az-Zarqawi mengingatkan dalam risalah Washaya li Al-Mujahidin, “Sesungguhnya agama ini tidak akan tegak kecuali di atas pundak para perwira yang memiliki tekad baja. Ia tidak akan pernah tegak di atas pundak orang-orang yang biasa hidup ringan dan bermewah-mewah. Tidak, sungguh Islam tidak akan tegak di atas pundak orang-orang seperti ini. Agama yang besar tidak akan tegak kecuali di atas pundak orang-orang besar pula. Tanggung jawab besar yang tidak sanggup dipikul langit dan bumi, tidak mungkin diemban oleh selain orang yang pantas mengembannya.”

Dengan demikian, kita pun nanti berharap kemenangan akan muncul sebagaimana Rasulullah dahulu tiba di Makkah, dan berhasil menaklukkan penghalang-penghalang dakwah.

Berhala Latta, Uzza, dan Manat sebagai simbol kejayaan pemerintahan kafir dapat diluluh-lantakkan, sehingga tidak ada lagi manusia yang mengabdikan dirikepada undang-undang buatan manusia. Sehingga bersatulah Makkah dan Madinah menjadi Daulah Islam yang besar dan berwibawa, serta diakui dan disegani.  Semoga!

oleh : Ustadz Ganna Pryadha, Alumnus Universitas Al Azhar, Mesir

http://shoutussalam.org/2014/01/kemenangan-islam-berada-di-pundak-mujahidin/
Share on :

Artikel Terkait: